Bebaskan Perempuan dari Buta Aksara
14.55 |
Diposting oleh
Dwi Ningsih Andryani |
Edit Entri
Kaum perempuan masih tetap terpinggirkan dalam persoalan aksara. Tak percaya ?, lihat saja data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI tahun 2007 menunjukkan penduduk dewasa di atas 15 tahun mengalami buta aksara mencapai 10.1 juta jiwa tau sekitar 6,2 persen dari jumlah penduduk dewasa.
Lebih dari 6,5 juta orang atau hampir 64 persen penduduk buta aksara itu adalah perempuan. Angka ini cukup merisaukan karena perempuan dianggap sebagai jantung peningkatan kualitas keluarga.
Di daerah kita tercinta Sulawesi Tengah, diperoleh data buta aksara usia 15 tahun ke atas, pada Desember 2008 jumlahnya mencapai 60.798 orang. Rinciannya laki-laki 21.887 orang sementara perempuan 38.911 orang. Kabupaten penyumbang terbesar penduduk buta aksara perempuan, adalah Donggala, menyusul Parigi Moutong. Sementara Kabupaten yang paling kecil jumlah buta aksara perempuan adalah Buol. Angka ini sungguh besar dan tak bisa dibiarkan bertambah.
Ada tiga faktor yang melatarbelakangi buta aksara perempuan yaitu kemiskinan, diskriminasi pendidikan, dan ketidakadilan sosial. Dari ketiganya, faktor diskriminasi dalam mengakses pendidikan merupakan penyebab utama.
Seperti diketahui, dalam masyarakat kita masih ada anggapan bahwa perempuan tabu mengenyam pendidikan. Sebab, tugas mereka nanti hanya di dapur, kasur, dan sumur. Singkatnya, sistem dan tradisi budaya kita terlanjur menempatkan perempuan sebagai orang kedua setelah laki-laki.
Akibat pandangan konvensional itu, perempuan sering mengenyam pendidikan rendah, yang menyebabkan mereka tidak bisa baca tulis. Padahal, baca tulis merupakan jendela untuk melihat dunia. Perempuan yang buta huruf akan melihat dunia ini dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.
Bahkan, perempuan hanya memiliki sedikit keahlian yang dapat diandalkan untuk memasuki dunia kerja. Akibatnya, sebagian besar perempuan cuma menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh toko, dan pekerjaan lainnya.
Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Tingginya disparitas buta aksara perempuan itu harus dihentikan. Sudah saatnya kaum perempuan mendapat kesempatan pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah bersama para stakeholders harus bahu-membahu menyadarkan masyarakat mengenai arti penting pendidikan bagi anak perempuan mereka.
Para pendonor dan penyandang dana harus merubah orientasi beasiswa. Jika semula berkesempatan mendapat beasiswa lebih banyak laki-laki, kini harus memberikan porsi yang sama.
Organisasi massa (ormas) dan organisasi keagamaan harus menjadi ujung tombak pemberantasan buta huruf bagi kadernya. Melalui majelis pendidikan di setiap cabang, kedua ormas ini bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi pentingnya pendidikan kepada masyarakat.
Institusi dan lembaga pendidikan pun harus menjadi media transformatif bagi pengentasan buta aksara. Artinya, model pembelajaran selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, siswa dilatih menekuni pekerjaanya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya.
Perusahaan-perusahaan besar sebagai penyedia dana di luar sistem harus menyisihkan sebagian penghasilannya, misalnya tertuang dalam corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan intuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan.
Surga berada di bawah telapak kaki ibu, tapi membiarkan "surga" itu buta huruf. Ini pengkhianatan nurani yang luar biasa. Karena itu bebaskan sekarang juga kaum perempuan dari buta aksara. Apapun caranya.
Media Alkhairaat (September 2009)
Lebih dari 6,5 juta orang atau hampir 64 persen penduduk buta aksara itu adalah perempuan. Angka ini cukup merisaukan karena perempuan dianggap sebagai jantung peningkatan kualitas keluarga.
Di daerah kita tercinta Sulawesi Tengah, diperoleh data buta aksara usia 15 tahun ke atas, pada Desember 2008 jumlahnya mencapai 60.798 orang. Rinciannya laki-laki 21.887 orang sementara perempuan 38.911 orang. Kabupaten penyumbang terbesar penduduk buta aksara perempuan, adalah Donggala, menyusul Parigi Moutong. Sementara Kabupaten yang paling kecil jumlah buta aksara perempuan adalah Buol. Angka ini sungguh besar dan tak bisa dibiarkan bertambah.
Ada tiga faktor yang melatarbelakangi buta aksara perempuan yaitu kemiskinan, diskriminasi pendidikan, dan ketidakadilan sosial. Dari ketiganya, faktor diskriminasi dalam mengakses pendidikan merupakan penyebab utama.
Seperti diketahui, dalam masyarakat kita masih ada anggapan bahwa perempuan tabu mengenyam pendidikan. Sebab, tugas mereka nanti hanya di dapur, kasur, dan sumur. Singkatnya, sistem dan tradisi budaya kita terlanjur menempatkan perempuan sebagai orang kedua setelah laki-laki.
Akibat pandangan konvensional itu, perempuan sering mengenyam pendidikan rendah, yang menyebabkan mereka tidak bisa baca tulis. Padahal, baca tulis merupakan jendela untuk melihat dunia. Perempuan yang buta huruf akan melihat dunia ini dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.
Bahkan, perempuan hanya memiliki sedikit keahlian yang dapat diandalkan untuk memasuki dunia kerja. Akibatnya, sebagian besar perempuan cuma menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh toko, dan pekerjaan lainnya.
Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Tingginya disparitas buta aksara perempuan itu harus dihentikan. Sudah saatnya kaum perempuan mendapat kesempatan pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah bersama para stakeholders harus bahu-membahu menyadarkan masyarakat mengenai arti penting pendidikan bagi anak perempuan mereka.
Para pendonor dan penyandang dana harus merubah orientasi beasiswa. Jika semula berkesempatan mendapat beasiswa lebih banyak laki-laki, kini harus memberikan porsi yang sama.
Organisasi massa (ormas) dan organisasi keagamaan harus menjadi ujung tombak pemberantasan buta huruf bagi kadernya. Melalui majelis pendidikan di setiap cabang, kedua ormas ini bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi pentingnya pendidikan kepada masyarakat.
Institusi dan lembaga pendidikan pun harus menjadi media transformatif bagi pengentasan buta aksara. Artinya, model pembelajaran selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya, siswa dilatih menekuni pekerjaanya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya.
Perusahaan-perusahaan besar sebagai penyedia dana di luar sistem harus menyisihkan sebagian penghasilannya, misalnya tertuang dalam corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan intuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan.
Surga berada di bawah telapak kaki ibu, tapi membiarkan "surga" itu buta huruf. Ini pengkhianatan nurani yang luar biasa. Karena itu bebaskan sekarang juga kaum perempuan dari buta aksara. Apapun caranya.
Media Alkhairaat (September 2009)
Label:
Pendidikan untuk semua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dwi Ningsih Andryani. Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
0 komentar:
Posting Komentar